Sunday 17 July 2016

"Samaawaati Wal Ardh", Langit dan Bumi. (draft)



Chapter 5
Kalau Abi sedang menggambar desain biasanya aku duduk memperhatikan. Kadang beliau lembur sampai malam di depan meja gambar. Agar tidak mengganggu aku diberikan mainan alat tulis gambar, pensil besar pipih untuk menggambar mistar dan penghapus karet berwarna putih. Aku sering menemani Abi menggambar hingga malam.
Sebelum tidur ia sering membacakan cerita dari dalam Al-Quran, cerita tentang nabi-nabi, langit, bulan dan bintang. Ia juga yang menanamkan tauhid dan keislaman di dalam diri kami, anak-anaknya. 
Di lingkungan sekitar kami tinggal di Medan, banyak juga yang merupakan orang Jawa dan orang Batak. Sebagian besar banyak yang merupakan orang Kristen atau Nasrani. Setelah Ummi dan Abi menikah, keluarga kami tinggal dan dekat dengan beberapa keluarga Jawa. Adik Ibuku juga ada yang menikah dengan orang Jawa. Ibuku juga memiliki teman-teman dan keluarga angkat yang merupakan orang Jawa. Ummi juga cukup mengerti bahasa Jawa dan cukup dekat dengan kehidupan orang-orang Jawa yang tinggal di kota Medan.
Perkembangan bisnis usaha dari keluarga kakekku kemudian juga membangun kerjasama dengan orang-orang Jawa dan juga Cina. Beliau memilki cukup banyak kenalan dan kolega yang merupakan orang Cina dan orang Jawa.
Dibesarkan dalam kondisi multikultural, aku seharusnya dapat lebih menghargai perbedaan. Walaupun belakangan setelah kembali mengenal Islam dan pertemuanku dengan Shafiq yang merupakan seorang Aceh menyadarkanku tentang jati diriku sebagai orang Aceh dan seorang Muslim yang sedikit demi sedikit terkikis dalam budaya multikultural. Aku menyalahkan kondisi permasalahan politik yang merubah tatanan sosial budaya di Indonesia termasuk di dalam masyarakat Aceh karena hal tersebut.
Anehnya, walaupun aku adalah seorang Aceh, Negeri Serambi Mekah dengan banyak ulama tetapi yang mengajarkan aku mengaji pada saat aku masih kecil adalah seorang Jawa.
Mungkin karena aku dilahirkan dan dibesarkan di kota Medan yang merupakan kota multikultural dengan lingkungan yang banyak terdapat orang Jawa.
Setelah kembali dari Bandung, aku kemudian melanjutkan kuliah Farmasi di Medan. Tetapi hal tersebut juga masih tersendat-sendat karena beberapa masalah lain.
Studi di Basel berawal dari korespenden melalui surat elektronik dan kemudian aku benar-benar berusaha agar dapat melanjutkan kuliah Farmasi di Basel. Hal tersebut juga masih mengalami beberapa permasalahan hingga sampai sekarang studi Farmasi yang aku ambil belum juga selesai. Itu sebabnya aku memutuskan untuk pulang ke Aceh.
Ilmu Pengetahuan adalah hal yang sangat tidak ternilai harganya dan setiap manusia yang berilmu tidak akan pernah berhenti untuk belajar dimanapun ia berada.
Setelah kembali ke Aceh, aku berusaha untuk merintis lembaga penelitian dan riset di bidang fitomedisinal dan obat-obatan bahan alam. Tujuan utamanya memang untuk dapat mengembangkan penelitian mengenai obat-obatan, terutama yang bersumber dari bahan alam. Karena itu aku banyak belajar dengan teman-teman ilmuwan terutama mereka yang mempelajari botani, biologi serta budidaya atau kultivasi. Karena riset di bidang fitomedisinal juga sangat terkait dengan budidaya tanaman obat, aku kemudian tertarik belajar gardening untuk kultivasi tanaman obat.
Aku sedang memulai kultivasi beberapa tanaman obat, diantaranya adalah Centella asiatica dan Vinca rosae. Shafiq juga tertarik dengan gardening dan kultivasi tanaman obat. Aku ingat apa yang dia bilang sewaktu memutuskan untuk menetap di Sigli dan beternak sapi juga bercocok tanam.
“Manusia terbuat dari tanah. Kehidupan ada di tanah” ujarnya yang merupakan seorang Astronom dengan pengetahuan yang mendalam mengenai angkasa, tetapi ia tidak akan pernah melupakan darimana ia berasal. Pengetahuannya yang luas mengenai angkasa raya, tidak menyebabkannya lupa untuk tetap berpijak di Bumi.
Pengetahuannya yang luas mengenai langit, bintang-bintang dan bulan ternyata tidak membuatnya jauh dari tanah.
Ardh. Earth.
Terkadang terbaca dengan lafadz yang sama.
Bumi. Tanah.
Walaupun telah lama menetap di Teheran untuk melanjutkan studinya di bidang Astronomi, keluarga Shafiq adalah keluarga petani di Aceh. Ia juga tidak pernah berdiri terlalu jauh dari tanah. Shafiq juga seorang petani, ia menanam sawi, tomat, bayam, tebu juga beternak ikan, sapi dan kambing. Itu sebabnya setelah aku kembali dari Basel, ia menertawakan aku yang kembali belajar bertanam jahe.
“Kehidupan ada di tanah” kata Shafiq yang sangat aku ingat.
Ya, aku sangat setuju dengan Shafiq. Langit terasa sangat tinggi dan luas tidak berhingga. Maha kuasa Allah yang telah menciptakannya. Akan tetapi kehidupan, setiap degup jantung dan regukan nafas, berasal dari tanah. Pergolakan, perjuangan, perlawanan, peperangan dan pertikaian di antara sesama ummat manusia, tidak pernah terpisahkan dari tanah tempat kehidupan berasal.
Seperti ironi, tetapi ada pelajaran yang dapat aku mengerti dari kata-kata Shafiq.
Juga dengan alasan yang sama, Shafiq memutuskan untuk membela Kemerdekaan Aceh. Perlawanannya atas hak untuk mempertahankan Tanoh Nanggroe sebagai bangsa Aceh yang Merdeka, sebagai pemimpin di atas tanahnya sendiri.
“Kehidupan manusia pada zaman sekarang bergerak dengan sangat cepat. Bagaimana kalau kehidupan manusia terus berputar sangat cepat hingga melebihi kecepatan perputaran Bumi?” tanya Shafiq tiba-tiba kepadaku setelah shalat Subuh, ia mengamati hilal.
“Aku merasa sangat tertinggal” jawabku pelan sambil membayangkan manusia-manusia yang bergerak sangat cepat kesana dan kemari. Aku rasa manusia-manusia yang seperti itu, sudah seperti tidak lagi menapak di Bumi. Dinamika kehidupan manusia semakin terasa sangat cepat, manusia-manusia canggih. Aku memang benar-benar merasa tertinggal disini.
Shafiq menoleh kepadaku lalu mencium keningku dengan sayang.
“Bagaimana agar dinamika kehidupan manusia dapat bergerak seiring dengan perputaran Bumi?” tanya Shafiq padaku seperti seorang guru. Aku kembali menggeleng pelan. Aku rasa Shafiq harus dapat mengerti kalau aku bukanlah seorang Astronom seperti dirinya. Kalau ia bertanya padaku tentang bagaimana menggerus kapur dan sirih, aku mungkin tahu.
“Apa jawaban yang dapat menjelaskan mengenai kemegahan langit yang diberikan oleh pengetahuan-pengetahuan di dalam Agama?” tanyanya lagi kepadaku. Aku kemudian memeluk pinggangnya erat dan bersandar pada bahunya. Aku tidak tahu harus menjawab apa untuk pertanyaan Shafiq.
“Shalat” jawabnya yang aku dengar seperti perintah dan juga jawaban atas pertanyaan-pertanyaan manusia akan kemegahan langit.
Perintah Shalat diberikan kepada Nabi Muhammad melalui peristiwa Isra’ dan Mi’raj. Sebuah perintah kepada ummat manusia yang didapat dari perjalanan Nabi Muhammad SAW ke langit tertinggi. Sebuah jawaban atas pertanyaan-pertanyaan manusia mengenai kemegahan alam semesta.
Takbiratul Ihram. Allahu Akbar.
Adalah Dia yang Maha Besar. Melebihi Matahari dan Bulan dan segala sesuatu yang diciptakan antara langit dan bumi. Dialah Allah Subhanahu Wata’alaa yang Maha Berkuasa atas segala sesuatu.
“Tujuan dari perjalanan hidup setiap muslim, adalah agar dapat mukim dan mendirikan Shalat. Bermasyarakat di dalam negara yang dapat menegakkan hukum-hukum Islam. Seperti perjalanan Hijrah nabi Muhammad SAW ke Madinah, adalah agar dapat mendirikan Shalat” ujar Shafiq.
“Seperti tujuan Kemerdekaan Aceh, untuk mendirikan sebuah negara yang dapat menegakkan hukum-hukum Islam dimana setiap muslim dapat merasa tenang untuk menegakkan shalat serta hidup dalam kehidupan bermasyarakat yang dilindungi di dalam hukum-hukum Islam. Aku rasa, hal itu adalah tujuan jihad kita sebagai seorang Aneuk Nanggroe pada masa sekarang!” ujar Shafiq.
Aku kembali mengangguk pelan.
“Lalu apa hubungannya antara Shalat dan Astronomi?” tanyaku pada Shafiq. Seperti ilmu pengetahuan lainnya, Astronomi juga menyimpan banyak teka-teki dan rahasia ilmu pengetahuan yang benar-benar menjadi pelajaran bagi orang-orang yang beriman kepada Allah dan mau mengambil pelajaran dari ciptaan-Nya.
“Hal tersebut pelajaran yang harus ditemukan sendiri oleh setiap muslim..., kalau tidak, hilang faedahnya” ujar Shafiq yang kemudian mulai membereskan peralatan pengamatan benda langit miliknya kemudian memintaku untuk membuatkan sarapan sementara ia mulai mengerjakan pekerjaannya sehari-harinya sebagai seorang petani. Mengumpulkan rumput dan memberi makan ternak-ternaknya.
Ia bilang, usia muda sangat disayangkan kalau hanya digunakan untuk bermalas-malasan. Pekerjaan sebagai seorang petani mengajarkannya kesabaran dan lebih dekat dengan realitas naturae, hal-hal yang alamiah. Realitas naturae yang sangat jauh dari kehidupannya sebagai seorang Astronom. Realitas kosmos yang sulit untuk terjangkau. Berbeda dengan realitas naturae yang dapat dicerna oleh indera.
Aku rasa tidak ada petani yang memikirkan hal tersebut, perbedaan antara realitas kosmos dan realitas naturae. Aku pikir hal tersebut akan terdengar cukup canggung jika melihat seorang petani sayur dan pembuat obat membicarakan mengenai realitas naturae dan realitas kosmos.
Walaupun pada dasarnya keingintahuan adalah bagian dari sifat manusia yang merupakan makhluk Allah yang diciptakan oleh-Nya, penuh dengan segala ketidaktahuan. Alamiahnya, setiap manusia adalah seorang ilmuwan yang penuh keingintahuan.
Pekerjaan sebagai seorang petani juga membuatnya dekat dengan kehidupan dan realitas sosial masyarakat di sekitarnya.
Hal ini adalah hal yang sangat indah setelah pikiran merumit dalam realitas kosmos yang hampa serta realitas naturae yang nyata tetapi kadang berupa ironi pahit, hal-hal dasar mengenai dasar kemakhlukan. Makan dan dimakan. Bunuh dan dibunuh. Membuat sebagian besar ilmuwan lebih memilih realitas kosmos yang hampa dan kosong.
Agama menjadikan manusia sebagai manusia.
Ketika seorang manusia berserah diri hanya kepada-Nya. Tidak ada lagi realitas kosmos yang kosong dan hampa juga tidak ada lagi realitas naturae yang pahit dan ironis.
Teratur.
Hal-hal kebaikan adalah hal yang tidak alamiah. Kebaikan adalah hal yang harus diajarkan. Manusia tidak serta merta dilahirkan dalam keadaan baik, manusia belajar untuk menjadi baik.
Subhanallaah walhamdulillaah walaa ilaa ha illallaahu allaahu akbar.
Ia menyenangi pekerjaannya sebagai seorang petani sayur dan peternak. Ia bilang pekerjaannya adalah pekerjaan yang humanis.
Walaupun ia samasekali tidak pernah meninggalkan pekerjaan utamanya sebagai seorang ilmuwan di bidang astronomi. Penelitian-penelitian mengenai antariksa tetap dilakukannya melalui pengamatan dari laboratorium penelitian antariksa kecil di rumah kami, ia juga tetap konsisten dalam tulisan-tulisan ilmiahnya mengenai pergerakan benda langit.
Sebagai seorang ilmuwan di bidang astronomi, Shafiq sangat konvensional, dia masih menganut paham geosentris dengan pemahaman jelas yang didasarkan pada ajaran-ajaran agama terdahulu maupun ajaran Islam. Hal tersebut membuatnya sedikit bermasalah dengan ilmuwan-ilmuwan astronomi lain yang telah menganut paham heliosentris termasuk dengan beberapa dosennya.
Shafiq pernah menceritakan kepadaku tentang perdebatannya dengan salah seorang ilmuwan astronom barat mengenai perseteruan antara geosentris dan heliosentris. Ilmuwan astronom barat tersebut merupakan salah satu dosen di Universitas Tehran, Iran. Doktrinasi keilmuwan barat sudah mulai kembali merangsek masuk di dalam kurikulum pendidikan Iran walaupun telah dilakukan pembersihan ajaran sekuler pada beberapa kepemimpinan rezim terdahulu di Iran.
Shafiq tetap bersikeras pada kepercayaannya dengan tetap berpijak pada geosentris. Hal tersebut membuat marah dosennya yang membuat dosennya mengatakan kepada Shafiq untuk jangan lagi kuliah, pulang saja ke rumah.
“Go home!” kata dosennya yang merupakan seorang ilmuwan heliosentris atau pemahaman mengenai matahari sebagai pusat tata surya. Sedangkan Shafiq adalah seorang ilmuwan geosentris yang tetap berusaha untuk berpijak di bumi sebagai seorang makhluk dan pengamat.
“Go to hell” kata Shafiq membalas perkataan dosennya. Ia bilang hal tersebut bukan merupakan umpatan kepada dosennya tetapi sebuah kejelasan, hell terhadap helium yang menjadi unsur utama pembentukan matahari menjadi lambang sarkastik mengenai kengerian wujud neraka dari paham heliosentris.
Entah bagaimana tapi Shafiq tidak pernah dapat membayangkan, ia berpijak di matahari dan memperhatikan kemegahan semesta raya. Pada kenyataannya ia tetap berpijak di bumi. Matahari, bulan, bintang, planet dan benda-benda langit tersebut yang bergerak berdasarkan sudut pandangnya sebagai makhluk yang berada di bumi.
Tidak berdiri sendiri. Bergantung pada keadaan tertentu dan kondisi. Bergantung pada perbedaan sudut pandang. Begitulah makhluk ciptaan Allah yang disebut manusia.
Berbeda dengan Allah yang Maha Berdiri Sendiri.
Qiyaamuhu binafsiihi.
Perdebatan tersebut masih menjadi perdebatan panjang dalam perkembangan ilmu pengetahuan hingga sekarang, geosentris dan heliosentris.
Shafiq adalah seorang geosentris dan dengan tetap jelas berpijak di Bumi.
Aku yang tidak mengerti astronomi mencoba untuk memberikan pendapat. “Hal tersebut mengenai perbedaan altitude. Altitude adalah hal yang sangat penting” ujarku kepada Shafiq.
“Ya, dan hal tersebut adalah pilihan dari setiap manusia. Ingin mengambil sudut pandang dari surga atau sudut pandang dari neraka?” tanyanya kepadaku.
Aku rasa perdebatan paham geosentris dan heliosentris tidak akan pernah berhenti hingga akhir zaman. Hal tersebut ditujukan agar manusia tetap mampu berpikir dan berusaha memahami serta menemukan ke-MahaKuasaan Allah SWT atas kedua hal tersebut. Pada dasarnya ketentuan atas keduanya adalah sepenuhnya berada pada kehendak Allah SWT. Tidak ada yang dapat menentukan kepastian akan hal tersebut.
Manusia diminta untuk berpikir.
Aku merasa sangat beruntung memiliki seorang suami yang benar-benar dapat membimbing dan memimpinku di dalam Islam.
Aku melihat Shafiq sedang mengambil rumput untuk memberi makan sapi-sapi yang dipeliharanya sementara aku menyiapkan sarapan. Aku berencana untuk pergi ke Banda Aceh beberapa hari lagi, juga untuk bertemu dengan seorang ilmuwan disana. Aku ingin membicarakan hal tersebut dengan Shafiq, tetapi aku tidak memiliki keberanian untuk meminta izin kepadanya. Shafiq sudah menegaskan kepadaku bahwa ia ingin agar aku tidak pergi kemana-mana lagi.
Tetapi aku masih memiliki cita-cita dan tujuan dalam hidupku sendiri. Aku ingin dapat mendirikan sebuah laboratorium penelitian obat bahan alam yang membuat perhatianku pada keluarga menjadi terbagi. Walaupun aku tetap berusaha untuk dapat memprioritaskan keluarga dan aku harap Shafiq dapat mengerti mengenai hal tersebut.
Hal-hal humanis.
Aku rasa banyak ilmuwan kosmik dan juga ilmuwan natura yang sudah kehilangan hal ini. Hal-hal humanis.
Aku pikir harus ada yang bersedia mengajarkan kembali kepada mereka mengenai hal-hal humanis.
Tegur sapa, senyum ikhlas.
Shafiq selalu menunjukkan ketidaksetujuannya setiap aku menceritakan padanya mengenai rencanaku untuk mendirikan lembaga penelitian obat bahan alam di Banda Aceh. Setiap kali aku ingin membicarakan hal tersebut dengannya, ia selalu menjadi marah dan tidak menyetujuinya. Walaupun ia tidak dapat menahan tujuan hidup dalam ikhtiarku selama ini. Shafiq juga sangat mengenal sifatku yang keras kepala sehingga setiap kali aku ingin membicarakan mengenai hal ini, ia selalu berusaha untuk menghindar.
Keluarga besar Shafiq bertempat tinggal di Sigli. Beberapa orang ada yang tinggal dekat dengan rumah kami dan juga membantu Shafiq dalam mengurus perkebunan dan peternakan sapi. Tetapi aku tidak bisa menjadi terlalu dekat dengan mereka, terutama karena permasalahan komunikasi dan perbedaan bahasa. Keluarga Shafiq merupakan keluarga Aceh asli. Tidak banyak dari mereka yang mau menggunakan Bahasa Indonesia, sementara walaupun Abi merupakan orang Aceh, tetapi aku tidak dibesarkan dalam budaya dan adat istiadat Aceh sehingga aku tidak fasih berbahasa Aceh. Karena hal tersebut, aku menjadi tidak begitu dekat dengan keluarga Shafiq walaupun usia pernikahan kami sudah lebih dari dua tahun.
Terkadang aku berkumpul juga dengan keluarganya walaupun sulit untuk dapat membaur dan berbicara-bicara dengan leluasa karena kendala bahasa juga permasalahan kesopanan dan tatanan cara berbicara. Kadang aku tidak mengerti apa yang mereka bicarakan juga karena kehidupanku yang agak berbeda dengan saudara-saudara perempuan dari keluarga Shafiq yang umumnya merupakan ibu rumah tangga sehingga sulit untuk menemukan bahan pembicaraan yang menyenangkan untuk dibicarakan bersama. Kadang aku tidak mengerti harus membicarakan hal apa dengan mereka. Karena itu aku lebih senang memfokuskan waktu dan perhatianku pada pekerjaan, tulisan-tulisanku serta penelitian ilmiah yang sedang aku kerjakan.
Mungkin juga karena hal itu, aku belum dapat memutuskan untuk benar-benar tinggal dan menetap di Sigli. Rasanya seperti senang melihat kehidupan yang aman dan damai di kampung, tetapi kehidupanku bukan disana. Semangat dalam memajukan penelitian ilmiah di bidang obat-obatan yang sedang aku kembangkan, justru aku rasakan di Banda Aceh.
Mungkin aku memang benar-benar harus dapat memisahkan antara tanggung jawab terhadap keluarga dan tanggung jawab atas kegiatan ilmiah. Lagipula Sigli dan Banda Aceh tidak terlalu jauh, berkali-kali aku mengatakan hal tersebut kepada Shafiq, aku dapat selalu pulang ke Sigli walaupun kondisinya akan sangat melelahkan. Tetapi ia tetap tegas agar aku lebih mengutamakan keluarga dibandingkan dengan pekerjaan. Hal ini membuatku seperti menemui jalan buntu.
“Kenapa diam?” tanya Shafiq kepadaku yang melihatku seperti tidak terlalu bersemangat menghabiskan sarapan pagi.
“Besok aku harus ke Banda Aceh untuk menemui beberapa orang, mengenai rencana untuk mendirikan laboratorium penelitian” ujarku kepada Shafiq.
“Aku antar” jawabnya kemudian. “Sekalian mengantar sejumlah pesanan sayur” ujarnya lagi.
Aku kemudian tersenyum kepadanya. Aku bangga kepadanya. Walaupun cukup mengerti dengan kondisi politik di Aceh, tetapi Shafiq tetap tidak mau untuk ikut berkecimpung di dalam dunia politik dan pemerintahan.
“Pusat pemerintahan Negara Islam berada di Mesjid bukan di gedung-gedung pemerintahan dan aku adalah seorang muadzhin. Aku berada di dalam Mesjid dan mengetahui secara langsung bagaimana kondisi ummat” ujarnya dengan tegas pada pembicaraan kami beberapa waktu lalu mengenai keengganannya untuk ikut berkecimpung dalam urusan perpolitikan di Aceh.
 “Akan menemui siapa di Banda Aceh?” tanya Shafiq kepadaku.
“Fajril Amri, aktivis Islam juga seorang dosen” jawabku. Beberapa lama Shafiq kemudian diam.
“Pendidikan tinggi untuk ilmu Farmasi baru dikembangkan di Aceh” ujar Shafiq kepadaku yang aku jawab dengan anggukan, “Ilmu Farmasi yang berkembang sekarang, umumnya dimiliki oleh ilmuwan-ilmuwan Israel dan Nasrani. Studimu di Basel juga tidak terlepas dari doktrinasi agama tertentu bukan? Agama terkadang digunakan sebagai benteng untuk melindungi berkembangnya ilmu pengetahuan, termasuk Islam dan Nasrani” terang Shafiq.
“Tetapi banyak juga yang berkembang dari Islam” sergahku.
“Qanun of medicine dan beberapa Treatise atau Risalah di bidang pengobatan yang ditulis oleh ilmuwan Islam, pernah lihat buku aslinya? Dilarang edar untuk pendidikan tinggi ilmu obat-obatan yang sekarang dikendalikan oleh Barat” ujar Shafiq padaku, “Sudah disadur dalam teks latin dan dikembangkan oleh ilmuwan-ilmuwan Nasrani dan Jew” ujarnya lagi.
“Ada masa dimana ilmu pengetahuan Islam diklaim oleh ilmuwan-ilmuwan bukan Islam dan diajarkan juga sebagai bagian dari doktrinasi imperial” terang Shafiq, “Termasuk ilmu di bidang kedokteran dan obat-obatan” ujarnya lagi.
“Perkembangan Ilmu Pengetahuan dapat dikatakan adalah hasil kerjasama dari berbagai peradaban dan ilmuwan dari berbagai bangsa. Arab menyadur pengetahuan dari Romawi yang kemudian disadur kembali oleh orang Yunani, kemudian dikembangkan lagi oleh orang-orang Britain dan sekarang Amerika memiliki teknologi yang paling maju. Tidak dapat dikatakan hak atas penguasaan ilmu pengetahuan adalah milik dari golongan bangsa tertentu” jawabku.
“Kita yang cuma, butiran debu..” ujarku kepada Shafiq dengan intonasi salah satu lagu pop, aku berusaha untuk melucu sambil mencoba untuk menjelaskan kedudukan ilmuwan-ilmuwan Indonesia apalagi ilmuwan-ilmuwan Aceh di dalam kancah perkembangan ilmu pengetahuan di dunia.
Shafiq kemudian menunjukkan pandangan yang tidak setuju dengan pendapatku. Menurutnya tidak sepantasnya kita merasa kecil dibandingkan dengan bangsa-bangsa besar lain yang telah memajukan dan mengembangkan ilmu pengetahuan selama ribuan tahun.
“Allah yang menentukan kemajuan suatu kaum dan runtuhnya suatu peradaban. Selama kita masih menjadi kaum yang patuh kepada perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya, perlindungan dan janji Allah atas kita” ujar Shafiq membantah sudut pandangku, sebagai, butiran debu.
Aku kemudian mengagumi pemahamannya yang jelas akan kedudukan Agama dan Ilmu Pengetahuan, membuat pendapatnya sangat kokoh dan sulit untuk terbantah.
“Tenang saja.., aku cuma akan belajar bertanam jahe kok..” ujarku berusaha menenangkan perdebatan ilmiah kami sambil menuangkan teh hangat untuk Shafiq dan membereskan piring-piring sarapan kami.
“Fajril Amri ini apa juga ilmuwan Farmasi yang akhirnya belajar bertanam jahe?” tanya Shafiq padaku dengan nada meledek juga seperti ada rasa cemburu yang ingin ditunjukkannya.
“Ya.., dia juga mempelajari bagaimana menanam jahe” jawabku dengan agak kesal karena Shafiq kembali mengungkit-ungkit urusan bertanam jahe.
“Aku rasa ketakutan atas doktrinasi Barat pada ilmuwan-ilmuwan Islam ini tidak usah dibahas lagi. Apa teropong kuadran derajat buatanmu dapat menyaingi teleskop Hubble NASA?” tanyaku pada Shafiq karena merasa agak kesal dengan urusan bertanam jahe.
“Ya. Maha Suci Allah yang telah menciptakan langit dan bumi, juga matahari dan bulan yang tidak akan pernah menyalahi fitrahnya. Seberapa besarpun mata ilmuwan-ilmuwan bukan muslim itu untuk melotot menatap angkasa raya, fitrahnya matahari untuk terbit dan bersinar setiap pagi adalah suatu ketetapan. Dan bulan juga bintang-bintang, maha suci Allah yang telah menetapkan qadarnya sehingga aku yang hanya dengan menggunakan sebuah teropong kuadran derajat tetap dapat mengamati kemegahan langit dengan tetap berpijak di bumi dan tidak menjadi orang-orang yang melampaui batas juga tidak berbuat kerusakan!” ujar Shafiq dengan serius.
Kalau sedang cemburu seperti itu, Shafiq biasanya jadi terlihat sangat pintar dan bijaksana.
Aku dekati dia dari belakang yang sedang duduk di depan meja makan, lalu aku peluk dan aku cium belakang kepalanya.
 “Fajril Amri ini, sebaiknya dia mampu bertanam jahe dengan baik!” ujarnya kemudian sambil berdiri, menarikku kemudian memelukku dengan erat. “Atau aku yang akan mengajarinya bagaimana cara bercocok tanam!” ujarnya lagi sambil balik mencium keningku.
Hilal bulan di luar jendela seperti mengintip dengan malu-malu.

Saturday 12 March 2016

White Hawthorn


Murayya Blossom



Murraya Blossom
Dua hari lalu sewaktu aku mendapat telepon dari Ummi, aku bilang akan mencoba tinggal di Banda Aceh sampai bulan Februari untuk mempelajari kemungkinan mendirikan laboratorium penelitian di Banda Aceh, tetapi ternyata setelah melewati awal tahun tidak terlihat juga ada persiapan untuk pulang ke Medan, aku malah menghabiskan waktu berlama-lama di Sigli. Justru rak sepatuku malah penuh dengan beberapa pasang heels baru serta long black dress. Seharusnya kalau aku belum pasti memutuskan untuk tinggal di Banda Aceh, aku tidak perlu berbelanja banyak keperluan disana. Tetapi merepotkan sekali kalau harus menggotong wardrobe kesana kemari. Makanya aku membeli beberapa pasang pakaian dan sepatu di Banda Aceh untuk menghadiri beberapa acara formal dan resmi. Kalau di Geneva biasanya disebut Little Black Dress. Tetapi di Banda Aceh, jadi Long Black Dress. Juga beberapa gaun panjang yang aku beli untuk acara-acara sosial di Banda Aceh. Evening Garden Party disini juga harus mengenakan gaun panjang dan tentu saja jilbab. Aku mungkin akan terlihat sangat aneh jika mengenakan summer sackdress dan flip flop, walaupun di Banda Aceh sepanjang tahun adalah Summer. Kecuali pada saat curah hujan sangat tinggi dan waktu-waktu seperti itu aku hanya ingin berada di rumah dengan segelas teh hangat.
Karena waktu sepertinya sama sekali tidak beranjak ketika aku berada bersama Shafiq disini.
Di Rumah.
Beberapa bibit kemuning yang diberikan Ummi sudah aku semai awal tahun lalu. Tahun ini secara pribadi aku telah memutuskan untuk menggunakan penanggalan Hijri. Hal tersebut disarankan oleh Shafiq yang mempelajari Astronomi.
“Pelajarilah hilal bulan, lebih tepat tanpa harus menggunakan teropong bintang ataupun teleskop. Hanya dengan melihat bentuk bulan, kita dapat langsung memperkirakan tanggal. Gunakan penanggalan Hijri” ujar Shafiq tahun lalu ketika ia sedang berada di Gayo untuk pengamatan hilal.
“Selain itu, penanggalan Hijriyah juga digunakan oleh seluruh negeri yang telah merdeka di dalam Islam. Kalau sebuah negeri telah merdeka di dalam Islam, ditandai dengan digunakannya penanggalan Hijriyah sebagai almanak resmi yang sama untuk seluruh Negara Islam” terang Shafiq padaku yang tidak terlalu mengerti mengenai Astronomi Islam.
Aku adalah seorang ilmuwan di bidang obat-obatan terutama mempelajari obat-obatan yang berasal dari bahan alam. Allah mempertemukanku dengan Shafiq enam tahun lalu pada sebuah symposium Masyarakat Ekonomi Islam di Banda Aceh. Ia adalah seorang mahasiswa pada jurusan Astronomi di Universitas Teheran, Iran. Allah juga yang menentukan jalanku di dalam Islam dengan menjadikan Shafiq sebagai suamiku yang mampu untuk memimpinku di dalam Islam.
Semenjak itu aku langsung menggunakan penanggalan Hijriyah. Hal tersebut juga seperti menandakan kalau aku telah benar-benar Hijrah. Lillaahi ta’alaa semoga berada di jalan Allah.
Kembali aku cek beberapa hasil semaian bunga Kemuning yang aku semai beberapa minggu lalu. Sudah tumbuh beberapa daun baru. Awal bulan depan mungkin sudah dapat aku pindahkan dari polybag ke dalam pot bunga. Ummi menyemangatiku untuk belajar gardening. Kemarin ia sempat bercerita padaku ingin menanam beberapa tanaman obat. Untuk kebutuhan sehari-hari di rumah. Kadang-kadang kalau batuk atau demam, lebih baik membuat pengobatan sendiri di rumah.
Aku senang kalau Ummi membuatkan teh jahe dengan madu atau seduhan dari chamomile. Biasanya kalau sedang minum teh bersama Ummi, obrolan-obrolan dapat terdengar lebih hangat. Termasuk tentang pernikahanku dan Shafiq dan mengapa setelah dua tahun pernikahan kami, aku dan Shafiq belum merencanakan untuk memiliki anak.
Shafiq sudah menyelesaikan studinya di bidang Astronomi empat tahun lalu. Semenjak itu ia pulang dari Teheran lalu pindah ke Sigli. Ia menetapkan untuk mukim di Meunasah Blang Cot dan diangkat menjadi muadzhin pada Mesjid yang ada disana. Belajar pada Imam yang ada di masjid tersebut sambil juga membantu menetapkan Hilal, mengamati peredaran bulan, menentukan musim dan menetapkan penanggalan Islam serta tanggal-tanggal penting dalam kalender Hijri.
“Apa jauh-jauh ke Teheran memang untuk belajar jadi muadzhin?” tanyaku padanya sambil memetik daun-daun tunas labu untuk masakan makan malam.
“Ya. Dengan latar belakang yang mungkin harus aku jelaskan bertahun-tahun tentang mengapa seorang lulusan sarjana berakhir menjadi seorang muadzhin” jawab Shafiq sambil memotong rumput untuk memberi makan sapi dan kuda yang dipeliharanya. Aku melihatnya seperti koboy yang ada di cerita-cerita Amerika lama. Mengenakan flannel, celana jeans dan boots antibanjir.
“Apa kamu harus kuliah terus di Swiss agar dapat belajar menanam jahe?” ujarnya tiba-tiba.
Shafiq ingin agar aku segera menyelesaikan studiku di Basel, kemudian tinggal bersamanya di Sigli. Tetapi sampai sekarangpun studi akademisku masih belum selesai dan aku merencanakan untuk mendirikan lembaga penelitian obat bahan alam di Banda Aceh. Hal ini membuat Shafiq marah kepadaku. Ia ingin agar setelah menikah, aku tinggal bersamanya di rumah untuk mendidik anak-anak kami kelak. Tidak pergi kemana-mana lagi.
“Studiku di Basel bukan untuk belajar menanam jahe” ujarku kesal.
Aku berjalan pelan ke dapur dan memanaskan air untuk membuat teh. Rumah ini dibuat Shafiq untukku. Halamannya luas, sebagian aku tanami dengan herba peugaga dan tanaman sereh atau Cymbopogon yang aku gunakan dalam riset penelitianku. Chamomile, jahe dan beberapa jenis basil juga sudah mulai tumbuh di halaman pelataran depan. Tinggal di pedesaan memang menyenangkan. Tetapi menurutku, dengan pendidikan yang baik seharusnya Shafiq bisa mendapatkan kedudukan baik di kantor pemerintahan.
Studiku di Geneva juga belum selesai. Maksudku, aku ingin agar aku dan Shafiq dapat tinggal di Banda Aceh. Dia dapat bekerja sebagai guru atau dosen sedangkan aku merintis laboratorium penelitian tanaman obat. Sementara rumah dan peternakan di Sigli dapat diurus oleh orang lain. Tapi Shafiq benar-benar bersikeras untuk tinggal di Sigli dan mengurus sapi-sapinya. Aku tidak tahu bagaimana memberikannya pengertian yang baik agar tidak timbul kesalahpahaman.
Karena hal ini keinginan kami untuk dapat memiliki anak terus tertunda. Aku masih melanjutkan studiku pada University of Basel sambil berusaha untuk mendirikan laboratorium penelitian tanaman obat di Banda Aceh, aku masih melanjutkan kuliah. Berkali-kali aku menyarankan kepada Shafiq untuk coba melamar kerja di pemerintahan dan tinggal di Banda Aceh agar dapat menjadi dosen karena masa depannya akan lebih cerah, kami pun dapat memutuskan untuk menetap di Banda Aceh. Tidak seperti sekarang, aku di Banda Aceh dan Shafiq di Sigli. Bagaimana kami dapat lebih fokus untuk mendidik anak-anak kami kelak.
Tetapi kemudian Shafiq malah memutuskan untuk tinggal di Sigli, menjadi muadzhin lalu beternak sapi.  Aku benar-benar tidak mengerti dengan keputusannya. Sering sekali perdebatan seperti ini muncul di antara kami dan Shafiq benar-benar keras keinginannya untuk dapat tinggal di Sigli.
Sekarang dia tinggal dan menetap di Sigli. Sementara aku masih mondar-mandir Medan, Banda Aceh, Geneva dan terkadang ke kota-kota di pulau Jawa untuk coba menawarkan beberapa buku tulisanku. Aku menulis beberapa jurnal ilmiah terutama mengenai tanaman obat, rempah dan herba. Juga publikasi beberapa penelitianku tentang senyawa gula dan isolasi senyawa aktif dari bahan alam. Walaupun juga mempelajari Genetika, hal tersebut belum dapat aku kembangkan di Aceh. Sementara untuk bekerja di Geneva sama sekali tidak diizinkan oleh Shafiq yang telah memutuskan untuk mukim atau menetap di Aceh Sigli.
“Aku sudah menghabiskan hidupku menjadi seorang scholar, pelajar, musafir dan peziarah selama di Iran. Yang dicari oleh setiap muslim yang hijrah adalah tempat masyarakat Islam dapat menetapkan mukim di dalam hukum Islam yang tegak, syar’i. Dan hal tersebut sudah aku dapatkan di Aceh. Untuk apa pergi kemana-mana lagi?” ujarnya sambil berjalan menghampiriku yang sedang duduk di meja halaman samping rumah sambil menuangkan teh daun basil yang barusan aku seduh. Aku letakkan biskuit coklat pada tatakan tehnya. Wajahku masih berusaha meredam kekesalan karena Shafiq menyindir kuliahku, kuliah jauh di Swiss untuk menanam jahe di kampung.
“Aku minta maaf, bukan maksudku mengatakan studimu di Basel cuma bisa untuk menanam jahe disini. Aku hanya ingin kamu memprioritaskan keluarga. Aku sudah sangat ingin memiliki anak” ujar Shafiq yang mengetahui kekesalanku.
Ia berdiri di hadapanku sambil membawa beberapa tangkai bunga mawar liar yang banyak tumbuh di halaman belakang pada pinggir kolam rawa. Shafiq kemudian meletakkannya di atas mejaku. Harum. Aku letakkan bunga-bunga tersebut ke dalam vas bunga kaca yang ada di atas meja.
Aku sangat mengerti dengan keinginannya. Aku juga seharusnya sudah merasa cukup siap untuk menjadi seorang Ibu.
“Aku sudah memutuskan untuk mukim, menetap dan membangun sebuah keluarga. Aku tidak tahu apa kamu memiliki cita-cita yang sama denganku” ujarnya sambil mulai menyeruput teh manis hangat yang aku sediakan.
“Apa aku punya pilihan lain?” tanyaku balik kepadanya sambil menghela nafas dan memperhatikan segerombol kemuning yang sedang berbunga. Aku tanam dua tahun lalu sewaktu rumah ini baru dibangun.
“Ya, tentu saja ada pilihan lain” jawab Shafiq, “Tetapi kemuning-kemuning yang kamu tanam disini tidak punya pilihan lain jika tidak ada yang mengurus mereka” ujarnya lagi sambil mencubit hidungku pelan.
“Mungkin sapi-sapi dan kambingku akan memakannya” ancamnya sambil menakut-nakutiku.
Aku kembali tersenyum sambil mengalihkan pandangan darinya, kepada segerombol bunga Kemuning yang sedang blossom, mekar.
“Sepertinya tidak ada pilihan lain bagi mereka” ujar Shafiq kemudian sambil mengecup keningku lembut lalu membereskan poci teh dan gelas-gelas karena langit sudah mulai sore dan udara juga mulai dingin dan agak mendung. Ia menyisakan piring-piring kue untuk aku bawa masuk ke dalam.
“Ayo masuk.., sudah sore” ujarnya kemudian.
Bunga Kemuning hanya mekar selama beberapa hari dan langsung gugur tetapi wanginya tertebar kemana-mana. Pada beberapa jenis kemuning ada yang tidak berhenti blossom, bergantian pada bagian ranting dan dahan-dahan yang lain. Aku ambil beberapa tangkai, lalu aku bawa masuk ke dalam rumah. Aku lihat Shafiq sudah menyalakan lampu di dalam rumah.
Mekar Kemuning.